Kamis, 22 Desember 2011

Menjadi Kaya Juga Perlu, Tapi...

SEORANG Muslim tidak sepatutnya mengkondisikan dirinya hidup dalam kekurangan harta. Apalagi hidup pasif tanpa usaha dan selalu meminta-minta. Ia harus berupaya mencari karunia Allah berupa perbendaharaan harta untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. Dengan cara demikian, maka setiap Muslim akan mampu berkontribusi (secara finansial) dalam upaya-upaya strategis guna memajukan kondisi ummat Islam di segala sektor.

Dalam sejarah kita bisa lihat bagaimana Utsman bin Affan, saudagar Muslim pertama yang menjadi sahabat utama rasulullah saw setelah Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar justru memberikan seluruh kekayaannya untuk perjuangan Islam. Tatkala ditanya oleh nabi, “Apa yang anda sisakan untuk keluarga anda?” Dengan tegas Abu Bakar menjawab, “Cukup Allah dan rasul-Nya.” Demikian pula dengan Abdurrahman bin Auf, saudagar Muslim terkaya di Madinah yang menyumbangkan banyak sekali hartanya untuk perjuangan ummat Islam.

Seorang Muslim boleh untuk mengkondisikan dirinya dalam kekurangan apabila memang ada alasan yang bisa menguatkan iman dan dalam rangka memberikan teladan. Sebagaimana Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, Salman al-Farisi, dan tentu siapalagi kalau bukan tauladan kita Rasulullah Muhammad Salallahu alaihi wassalam.

Beliau-beliau itu ingin memberikan contoh agar para pemimpin tidak terlena dengan jabatan yang diembannya, sehingga terperosok dalam kelalaian dan kesombongan. Sementara rakyat dibiarkan miskin, bodoh, nganggur, dan tercerai-berai.

Salman al-Farisi misalnya, sekalipun beliau memegang amanah sebagai gubernur, saat wafat, pakaian yang digunakannya tidak kurang dari seratus tambalan.

Demikian pula Umar bin Khattab, tatkala protokoler kekhilafahan hendak mengganti piring makannya yang sudah kurang layak, Umar menolak. Bahkan hari-hari Umar tidak mau duduk manis di kantor pribadinya. Ia lebih suka berkeliling melihat kondisi rakyatnya, tidur di atas pelepah daun kurma dan bercengkrama dengan rakyatnya.

Perilaku Umar dan Salman Al-Farisi adalah perilaku mulia yang dimiliki seorang pemimpin. Tapi ingat keduanya adalah seorang Muslim yang kaya hati, cerdas, memiliki ilmu, dan tentu kokoh aqidah dan keimanannya. Jika kita mengambil sikap seperti itu, kemudian tidak memiliki kekuatan ilmu dan kekuatan aqidah dan iman yang benar, maka kelirulah sikap tersebut.

Lalu bagaimana bagi kita yang bukan pemimpin publik laksana Umar atau pun Salman al-Farisi? Sikap Abdurrahman bin Auf layak untuk kita teladani.

Miliki Skill

Hampir semua orang mafhum bahwa Abdurrahman bin Auf adalah kaum Muhajirin yang dengan tegas menolak tawaran baik dari saudaranya dari kalangan Anshar. Tawaran pun bukan sekedar tawaran. Mungkin bagi anggota DPR jika tawaran itu diberikan secara cuma-cuma akan diterimanya dengan senang hati. Bagaimana tidak Abdurrahman bin Auf ditawari rumah, tanah, istri, dan perkebunan.

Dengan tegas Abdurrahman bin Auf hanya mengatakan, “Tunjukkan kepadaku dimana pasar!”

Mengapa Abdurrahman bin Auf menolak tawaran yang sangat menggiurkan itu? Dua hal yang dapat kita simpulkan. Pertama ia hanya ingin bergantung kepada Allah dan ingin membuktikan bahwa hijrah baginya adalah gerbang untuk menang. Kedua, Abdurrahman bin Auf ingin mengajarkan kepada kita seorang mukmin “haram” hukumnya menjadi pemalas. Abdurrahman punya skill (keahlian) yang baik di bidang bisnis, niaga ataupun perdagangan. Karena itu, beliau minta ditunjukkan tempat perdagangan, yakni pasar.

Dalam tempo yang tidak begitu lama, pasar di Madinah sudah berhasil dikuasainya. Bahkan dalam riwayat dijabarkan bahwa suat ketika, di Madinah terlihat debu tebal yang mengepul ke udara berarak dari tempat ketinggian di batas kota, debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpal hingga nyaris mentutup ufuk pandangan mata.

Peristiwa itu menjadikan penduduk sempat salah tanggap. Dikira ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Namun tak lama kemudian terdengarlah suara hiruk pikuk, yang memberi tanda bahwa ada kafilah besar panjang sedang menuju pusat Madinah. Ternyata, tidak kurang dari 700 kendaraan yang sarat muatan memenuhi jalan-jalan kota Madinah. Itulah kafilah Abdurrahman bin Auf.

Subhanallah, ternyata 700 kendaraan itu tak sampai kerumah Abdurrahman bin Auf. Segera Abdurrahman bin Auf berkata, “Kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah Azza Wajalla”. Lalu dibagikanlah seluruh hasil perniagaan Abdurrahman bin Auf itu kepada seluruh penduduk Madinah.

Riwayat menyebutkan pula bahwa ada tiga hal yang sering dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf. Bila tidak sedang shalat di masjid, dan juga tidak sedang berjihad di jalan Allah maka ia sedang serius mengurusi perniagaannya.

Apabila kita mampu memiliki skill sebagaimana Abdurrahman bin Auf lalu dengan teguh hati memegang aqidah Islam. Menjadikan harta yang dimiliki sebagai sarana mendapat ridha Allah, tentu kebahagiaan hakiki-lah baginya.

Allah berfirman,

الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُواُ مَنّاً وَلاَ أَذًى لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah (2) ; 262).

Dalam konteks kekinian dan ini mendesak, harus ada di antara ummat Islam yang ahli di bidang ekonomi, bisnis, perniagaan dan perdagangan. Sebagaimana telah diteladankan oleh rasulullah saw dan Abdurrahman bin Auf. Dan, hal tersebut saat ini sangat dibutuhkan. Bagaimana tidak ummat Islam Indonesia hari ini menjadi mangsa pasar negara-negara industri. Inilah yang oleh para pemikir disebut dengan “Global Economic War” atau “Ghazwatul Iqtishodiyah” (perang ekonomi).

Dengan demikian skill itu perlu dan harus dipelajari bahkan sampai dikuasai secara sempurna. Harus ada di antara ummat Islam yang pakar IT juga pakar hadis. Harus ada yang pakar tafsir yang juga ahli ekonomi. Prinsipnya harus ada skill yang dapat kita andalkan untuk turut serta jihad fi sabilillah.

Akhirul kata, harus ada ummat Islam yang kaya, karena kaya itu juga perlu. Tapi harus diingat, ummat Islam harus kaya sejati, yaitu kaya ilmu, kaya iman, dan kaya harta. Hal itu sangat diperlukan untuk menyelamatkan ummat Islam dari kekufuran. Sebab ada hadis nabi yang menegaskan bahwa kefakiran mendekati kekufuran.

Jadi kaya seperti apa yang diharapkan Islam? Seorang yang kaya raya seperti Siti Hadijah atau Usman bin Affan. Khadijah adalah seorang pengusaha kaya raya. Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad, beliau adalah pegadang sukses. Hanya saja, kekayaan Siti Khadijah rela dikorbankan untuk mendukung perjuangan dan Islam. Wajar jika Nabi menyebut Khadijah salah satu penghuni syurga.

Ketika Jibril as datang kepada Nabi saw, dia berkata: "Wahai, Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya dan tidak ada kepayahan." [HR. Bukhari].


Hingga Khadijah telah tiadapun, Nabi senantiasa mengenangnya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Salallahu alaihi wassalam bersabda: "Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa."

Itulah Khadijah yang telah berjuang dengan harta dan kekayaannya. Begitu pula sahabat-sahabat Nabi lain yang telah dijamin syurga atas hartanya.

Abu Hurairah pernah berkata; "Utsman bin Affan sudah membeli surga dari Rasulullah dua kali; pertama ketika mendermakan hartanya untuk mengirimkan pasukan ke medan perang, Kedua ketika membeli sumber air (dari Raimah)." (HR: Tirmizi)

Usman telah menyumbang 20.000 ribu dirham untuk sumur milik orang Yahudi. Di perang Tabuk, Usman telah berinfak 300 unta dan 1.000 dirham.

Adapula kisah sahabat Abdurrahman bin Auf. Ia berinfak sebanyak dua ratus uqiyah ketika perang Tabuk. Ketika Rasulullah menanyakan apa yang ia tinggalakan untuk keluarganya, maka Abdurrahman menjawab, "Ada, ya Rasulullah. Mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripda yang saya sumbangkan." "Berapa?" Tanya Rasulullah. Abdurrahman menjawab, "Sebanyak rizki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."

Allah SWT berfirman:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia ini tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud[11]: 15-16).

Allah tak melarang kita mengumpulkan kekayaan, bahkan pasti akan diberikan Allah apa yang kita inginkan itu, kecuali pahala dan syurga Nya.

Karenanya, Rasulullah Salallahu alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu dilaknat, berikut segenap isinya juga dilaknat, kecuali jika disertai untuk tujuan kepada Allah SWT.” (Al Hadits).
Nah, pada akhirnya, kaya sangat tidak dilarang. Bahkan dianjurkan jika itu untuk dakwah dan perjuangan serta berinfaq membantu fakir dan miskin.
Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar